Sabtu 27/12 tepatnya hari itu aku dinobatkan dan meraih gelar sebagai Sarjana Ekonomi (SE) disuatu tempat yang tergolong cukup mewah di Kota Tangerang. Seperti kebanyakan orang yang telah diwisuda ingin merayakan bersama keluarganya masing-masing. Untuk merayakan hari yang bahagia itu, rasanya aku ingin berlibur ke tepi pantai sambil mengajak makan bareng bersama keluarga setelah acara wisuda usai.
Niat awal sebelum hari ” H ” tersebut terbagi sebanyak dua pilihan. Antara lain saudara-saudaraku menyatakan, ingin makan bersama ditepi pantai dan ada yang ingin di suasana rumah makan juga cukup. Tentunya dari dua pilihan tersebut, aku harus bijak dan mengambil suara terbanyak. Ternyata dari beberapa keinginan saudara-saudaraku, lebih condong kepada suasana makan ditepi pantai dibanding dirumah makan. Akhirnya perserta yang kedua memilih untuk tidak ikut, meskipun sebagian dari mereka terpaksa ikut juga.
Jam 12.30 prosesi wisuda itu telah selesai. Rombongan yang berjumlah 22 orang dewasa termasuk 4 nenek-nenek dan 2 orang dibawah umur dan bayi satu orang dibawa juga bergegas menuju pantai Tanjung Pasir yang rencananya nyebrang laut ke Pulau Untung Jawa. Namun kayaknya cuaca kurang bersahabat. Dari kejauhan langit sudah gelap dan mendung
mulai merayap. ” Tuh, kan udah mendung. Mendingan ke Rumah makan aja,” ujar ibuku yang duduk dibelakang dan ia sebelumnya kurang setuju dengan niat ku. ” Nggak, itu mau hujan di daerah Bogor.” kata sang supir menyahut.
Benar juga sesampainya di pantai Tanjung Pasir Jam 14.20 langit memang tampak cerah, angin dari arah selatan bertiup kencang. Tawar menawar perahu kemudian akhirnya ” deal ” juga, satu orang dikenai biaya sebesar Rp. 15.000,- (PP). Pantai yang kurang terawat rapih, dan perahu yang dirawat seadanya menanti rombongan aku naik satu persatu. Aku terpaksa mengawasi mereka, aku harus menuntun ibuku yang sudah tua. Kemudian empat orang ”uak” ku sambil memberi aba-aba untuk berhati-hati, karena untuk naik keatas perahu harus melewati selembar papan dan bambu untuk pegangan naik yang dipegang oleh anak buah tukang perahu. Apalagi tali pengikat perahu melintang kesana kemari, cukup mengganggu.
Tiba di tepi pantai Pulau Untung Jawa, tidak dapat merapat ke ”Dag semen” yang dibuat menuju pantai wisata. Perahu kami merapat kearah utara, tempat perahu-perahu nelayan yang juga sangat membahayakan, seperti lokasi pertama di Tanjung Pasir. Menurut mereka, perahu tidak bisa merapat ketempat biasa itu tadi, karna angin barat daya. Sehingga untuk menuju lokasi tempat wisata, ditempuh dengan berjalan kaki sepanjang 500 s/d 600 Mtr.
Memang cukup nyaman, makan bersama ditepi pantai sambil melihat-lihat suasana lingkungan sekitar. Angin sepoi-sepoi dan burung-burung beterbangan. Gairah makan cukup membuat kami semua merasa senang. Jam, 17.20 kami berangkat untuk kembali karena perahu sudah menunggu diujung pantai. Tapi hati ini mengatakan ragu-ragu, antara pulang atau bermalam. Angin pada waktu itu bertambah kencang dan ombak laut mulai tinggi. Namun karna anggota rombongan, ada yang belum izin sama orang tuanya bepergian, terpaksa kami pulang juga.
Benar saja, ditengah laut kami terombang-ambing oleh ombak yang membuat bulu kuduk merinding. ” Pyar ...! ” ombak menerjang perahu kami dan membentuk 90 derajat. Anak-anakku menjerit, yang lain berteriak minta tolong, suasana gundah dan takut menyelimuti mereka. Barangkali tidak bisa ku bayangkan, untuk hidup. Mati ! pikirku dalam hati. Aku berstabih terus, menyebut nama ALLAH. Kulihat anakku yang berumur 10 tahun menangis sambil berpegangan bangku duduk yang terbuat dari papan. Aku ambil tangannya, dan kudekap erat-erat. Bahaya memang ! ombak yang menerjang-terjang membuat perahu yang kutumpangi tidak berarti apa-apa. Hampir empat kali perahu kami diterjang ombak yang cukup mengerikan itu. Allah berpihak kepadaku beserta rombongan, dan akhirnya aku selamat.
Mungkin kalau Allah tidak melindungiku dan rombongan, kami semua pulang tinggal nama. Selain ombak yang membahayakan, penanganan pengunjung yang menuju Pulau Untung Jawa kurang mendapat perhatian dari pihak pengelola dan semua pihak yang berwenang terlibat dalam mengelola kedua tempat tersebut :
1. Pantai untuk menaiki perahu tidak dibuat sebaik mungkin, sehingga kenyamanannya kurang terjaga.
2. Penumpang tidak diberikan baju pelampung yang layak.
3. Kurangnya koordinasi antara pemerintah dan pemilik perahu, bagaimana merawat dan melayani penumpang dengan baik.
4. Kurangnya informasi-informasi dan ketentuan-ketentuan yang diatur untuk pengunjung, misalnya melalui pamplet, brosur-brosur dan papan petunjuk.
Demikian kisah nyata yang aku alami beserta rombongan, nyebrang laut menuju Pulau Untung Jawa yang sangat membahayakan. Bagaimanapun caranya, baju pelampung harus diberikan kepada penumpang. (Rhm).